Senin, 26 Desember 2011

Konsep privatisasi sektor publik

1.    Konsep privatisasi sektor publik
2.    Dilema privatisasi sektor publik
3.    Tanggung jawab sosial perusahaan publik

PENJELASAN

Konsep privatisasi sektor publik

Privatisasi (istilah lain: denasionalisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi. Lawan dari privatisasi adalah nasionalisasi.
Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air.
Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
Konsep kebijakan privatisasi sebetulnya merupakan bagian dari kebijakan deregulasi secara umum dan kelanjutan proses deregulasi itu sendiri. Pada kasus privatisasi di Indonesia, kebijakan tersebut lahir dan berawal dari keterpurukan perekonomian Indonesia akibat krisis moneter yang telah berkembang menjadi krisis multidimensi dan mengakibatkan perusahaan pemerintah  mengalami kesulitan untuk meneruskan usahanya, sehingga perlu adanya usaha untuk menyelamatkan usaha  tersebut agar tetap eksis.
Pada dasarnya, misi dari kebijakan privatisasi adalah baik dan bisa dibenarkan bila tetap berpegang pada tujuan dan sasaran yang hakiki. Tujuan privatisasi bila disarikan akan menjadi beberapa point. Pertama, meningkatkan efisiensi, kedua, peningkatan mutu pelayanan publik dan ketiga, mengurangi serta melepaskan campur tangan langsung pemerintah.
Di era globalisasi, tuntutan kompetisi dan efisiensi dalam kegiatan ekonomi merupakan hal yang mutlak. Untuk mengkampanyekan "kompetisi dan efesiensi", diperlukan sinergi yang kuat antar perusahaan. Semangat "kompetisi" merupakan cara terbaik untuk meyakinkan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen dapat disediakan pada biaya ekonomi terendah. Privatisasi juga memberikan kebebasan memilih "kekuatan pasar" yang dapat menyediakan tekanan secara berkelanjutan untuk meningkatkan efisiensi. Berbagai proteksi masa lalu dan intervensi yang berlebihan, telah berpengaruh pada kebebasan berkompetisi. Untuk dapat bersaing di pasar bebas, perusahaan harus meningkatkan profesionalisme manajemen agar tercapai efisiensi yang tinggi.
Adapun secara ekonomi, ada dua pendekatan teoritik dalam memahami privatisasi yakni, dari sudut pandang radikal yang memahami privatisasi sebagai penegasan atas hak-hak kepemilikan. Dasar pandangan ini bertolak dari teori tentang hak-hak kepemilikan (the theory of property rights) dan teori pilihan publik (the theory of public choice); kedua, pandangan yang lebih moderat, pandangan yang lazim bahwa privatisasi sebagai sebuah instrumen untuk menempatkan secara tepat sektor ekonomi ketiga.
Pendekatan ketiga adalah pendekatan ekonomi-politik, melihat privatisasi sebagai proyek politik dari klas dominan untuk melakukan akumulasi kapital. Dalam pengertian ini, privatisasi tidak hanya berarti pergeseran peran dan fungsi dari pemerintah kepada swasta tapi, juga sebuah proyek untuk melemahkan dan mengontrol kekuatan kelas pekerja. Itu sebabnya, dalam perspektif ini sebagai bagian dari doktrin neoliberal, gagasan utama di belakang proyek privatisasi adalah, kredo Private is good, public is bad, sehingga dibutuhkan pendefinisian ulang peran negara dalam pasar. Dalam kerangka pikir ini, privatisasi berarti “…pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasi bahwa dominasi kepemilikan akan berpindah ke pemegang saham swasta.”
Didalam suatu konsep privatisasi terdapat istilah tujuan dan metode, adapun berberapa tujuan atupun metode tersebut diantaranya adalah
Bank Dunia dalam rekomendasinya kepada pemerintah Indonesia menyatakan, tujuan privatisasi adalah sebagai berikut:
1.    Meningkatkan efisiensi dan investasi di bawah pengelolan manajemen swasta;
2.    Meningkatkan pendapatan BUMN yang diprivatisasi sebagai perubahan peran pemerintah dari pemilik badan usaha menjadi regulator;
3.    Mendorong sektor swasta untuk lebih berkembang dan meluaskan usahanya pada pelayanan publik; dan
4.    Untuk mempromosikan pengembangan pasar modal nasional.
Paket departemen keuangan Inggris tentang privatisasi yang diterbitkan pada 1986, menyatakan bahwa program privatisasi memiliki dua tujuan utama:
1.    Untuk mempromosikan “kompetisi” dan peningkatan “efisiensi,” sinerji antar-perusahaan harus dilakukan. Spirit “kompetisi” merupakan cara terbaik untuk meyakinkan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen dapat disediakan pada biaya ekonomi terendah;
2.    Program privatisasi sering digunakan untuk mempromosikan kepemilikan saham secara lebih luas kepada para pekerja dan masyarakat.
Berdasarkan ulasannya terhadap pelaksanaan privatisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Thatcher di Inggris, Safri Nugraha, dalam disertasi doktoralnya memaparkan tujuh tujuan privatisasi:
1.    Mengurangi pengaruh pemerintah dalam industri;
2.    Meningkatkan efisiensi baik pada perusahaan-perusahaan swasta maupun pada sektor publik;
3.    Mengurangi Public Sector Borrowing Requirement (PSBR);
4.    Mengurangi masalah-masalah di sektor publik menyangkut tawar-menawar soal upah melalui pelemahan serikat pekerja;
5.    Memperluas pembagian kepemilikan;
6.    Mendorong pembagian kepemilikan pekerja;
7.    Untuk memperoleh keuntungan politik.
Kembali mengutip William L. Megginson, tujuan dilaksanakannya privatisasi ada lima:
1.    Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah;
2.    Mendorong efisiensi ekonomi;
3.    Mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian;
4.    Memberikan kesempatan untuk mengenalkan persaingan; dan
5.    Mengembangkan pasar modal negara.
    Untuk mencapai tujuan privatisasi itu, metode privatisasi menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Terkadang, metode yang satu cocok diterapkan di sebuah negara tapi, gagal diterapkan di negara lain. Motivasi pemerintah dan situasi politik suatu negara sangat menentukan pilihan metode privatisasi yang terbaik. Dengan memahami metode privatisasi, kita bisa menghindar dari perdebatan kosong tentang makna privatisasi. Selama ini yang kerap diartikan sebagai privatisasi adalah penjualan aset publik kepada pihak swasta yang bisa dilihat pada komposisi kepemilikan aset, misalnya. Jadi, jika belum ada transaksi maka tidak terjadi privatisasi.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, privatisasi merupakan upaya mengurangi keterlibatan langsung Pemerintah dalam urusan ekonomi. Diharapkan, pemerintah dapat lebih fokus pada fungsi regulasi. Dengan hadirnya swasta dalam kepemilikan saham perusahaan publik, hal ini akan menghambat campur tangan semena-mena dari berbagai pihak sehingga kinerja BUMN dapat ditingkatkan. Bila kaidah-kaidah privatisasi diterapkan dengan baik dan benar, maka keuntungan yang diperoleh adalah:
1.Transparasi di tubuh perusahaan publik akan terwujud.
2.Manajemen BUMN/Perusahaan publik akan lebih independen dan terlepas dari intervensi birokrasi dan politik.
3.Akses pemasaran lebih luas.
4.Perolehan ekuitas baru memungkinkan Perusahaan publik dapat mengembangkan usahanya dengan lebih baik.
5.BUMN berpeluang  untuk  memperolah  pengalihan teknologi, dari teknologi produksi hingga teknologi manajemen mutakhir.

Dilema privatisasi sektor publik
Memang benar, bahwasanya privatisasi diharapkan akan menjadi jalan yang dilematis apabila tidak memiliki dukungan dan akseptabilitas. Sebagai suatu kebijakan publik, tentu saja proses privatisasi harus dapat mengadopsi aspek-aspek berupa dukungan politik dan akseptabilitas publik. Yang menjadi kendala bagi Indonesia adalah hingga saat ini Pemerintah kita belum bisa menyelaraskan antara dua aspek tersebut. Kebijakan penjualan dari pada perusahaan publik cenderung mengabaikan kepentingan nasional dan selama ini berakhir, tidak pada swasta dan masyarakat dalam negeri, tetapi cenderung menjualnya ke pihak asing. Ini jelas sekali menafikkan nilai-nilai nasionalisme dan terlalu bersifat liberal.
Di satu sisi, pemerintah harus melakukan privatisasi karena menyangkut defisit anggaran, namun di lain pihak, pemerintah juga harus berhadapan dengan publik yang menolak aset negaranya dijual ke pihak asing. Opini masyarakat atas sikap pemerintah yang telah menggadaikan aset negaranya, telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi anti privatisasi. Apa pun bentuk dan tujuan dari kebijakan ini pada akhirnya akan ditentang oleh publik. Hal tersebut cukup beralasan karena dampak dari proses privatisasi ini lebih banyak menyengsarakan ketimbang manfaatnya, terutama dari pihak pekerja. Efisiensi, reposisi dan pengurangan karyawan adalah dampak negatif dari program privatisasi. Kejadian-kejadian masa lalu telah menjadi pelajaran yang berarti dan harus dihindari di masa-masa mendatang.
Privatisasi memang sebuah dilema dan sulit dihindarkan, namun dalam melaksanakan kebijakan ini, kita harus selektif dan ekstra hati-hati, sehingga nantinya akan dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Agar dalam implementasinya tidak mengundang kontroversi dan pertentangan, untuk meminimalisasi gejolak yang timbul akibat privatisasi, sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, perlu landasan filosofi, proses dan tujuan yang jelas. Kedua, mendahulukan kepentingan nasional dengan mengutamakan penjualan aset BUMN kepada pemerintah daerah atau swasta nasional. Ketiga, transparansi dan fairness. Proses yang tidak transparan akan menimbulkan kecurigaan dan lebih jauh dapat menjadi komoditas politik para elite yang anti pemerintah.
Kebijakan privatisasi perusahaan public  tetap harus dilanjutkan. Namun, privatisasi yang terus berlanjut tampaknya akan tetap menjadi bahan perdebatan panjang, selama proses dan implementasinya tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara.

Tanggung jawab sosial perusahaan publik
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR, juga disebut nurani perusahaan, kewarganegaraan perusahaan, kinerja sosial, atau bisnis yang bertanggung jawab berkelanjutan)  adalah suatu bentuk perusahaan -regulasi diri diintegrasikan ke dalam model bisnis . CSR kebijakan berfungsi sebagai di-, mengatur diri sendiri mekanisme dibangun dimana bisnis memonitor dan memastikan kepatuhan aktif dengan semangat hukum, standar etika, dan internasional norma . Tujuan dari CSR adalah untuk menerima tanggung jawab atas tindakan perusahaan dan mendorong dampak yang positif melalui kegiatan pada lingkungan, konsumen, karyawan, masyarakat, stakeholder dan semua anggota lain dari ruang publik . Selain itu, fokus bisnis CSR akan proaktifmempromosikan kepentingan publik oleh pertumbuhan masyarakat dan mendorong pembangunan, dan sukarela menghilangkan praktek-praktek yang merugikan lingkup publik, terlepas dari legalitas.CSR adalah dimasukkannya sengaja kepentingan publik menjadi perusahaan membuat keputusan- , yang merupakan bisnis inti dari perusahaan atau perusahaan, dan menghormati dari triple bottom line : orang, planet, dan keuntungan.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social  responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh suatu perusahaan-perusahaan. Berbeda dengan  kondisi Indonesia, di sini kegiatan tanggung jawab social suatu perusahaan  baru dimulai beberapa tahun  belakangan. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan .  Walaupun sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan.
Konteks tanggung jawab social perusahaan  dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan.  Tanggung jawab social berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam tanggung ajwab social lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniha, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan masyarakat dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera. Kondisi Indonesia masih menghendaki adanya tanggung jawab social perusahaan  sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadaran akan adanya tanggung jawab social perusahaan  masih rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup dan bahkan seringkali terjadi  suatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah. Tanggung jawab social perusahaan  lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi.






















Referensi :
www.wikipedia.co.id
patrianegara.blogspot.com/Privatisasi : Konsep dan Pelaksanaannya.
Tanggungjawab Sosial Perusahaan pada Publik
(Corporate Social Responsibility)
Ga: Dosen Univ.Tamansiswa
Gurvy Kavei dalam Teguh , Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, Makalah pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integrating Social Acpect into The Business, Yogyajarta, 2006
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.
John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005.

1 komentar:

  1. saya sangat membuhtukan tentang cara penyusunan program swastanisasi, bohon bantuan.

    BalasHapus