Senin, 26 Desember 2011

Sumber-sumber Pretorianisme

Sumber-sumber Pretorianisme
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kekuatan militer Amerika merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan golongan militer cenderung melibatkan diri dibidang politik. Di dalam semua masyarakat kelompok-kelompok sosial yang khusus selalu melibatkan diri di bidang politik. Karena tidak adanya lembaga politik yang secara efektif dapat menengahi, menghaluskan, serta memperlunak aksi politik yang dilakukan berbagai kelompok. Di dalam sistem pretoria, kekuatan soaial bertentangan satu dengan yang lainnya secara terbuka, tidak ada lembaga politik, tidak ada korps tokoh politik profesional yang diakui dan atau diterima sebagai penengah yang sah untuk melunakkan konflik antar kelompok.
Dengan demikian di dalam masyarakat pretoria radikal, campur tangan militer biasanya merupakan jawaban terhadap meningkatnya konflik sosial sebagai akibat perselisihan beberapa kelompok dan partai ditambah lagi dengan merosotnya efektivitas dan legitimasi lembaga politik yang ada pada saat itu. Jadi campur tangan militer berfungsi untuk menghentikan laju penggalangan kekuatan itu di dalam masyarakat pretoria kedua cara iu sama, dan mencairkan situasi politik yang gawat dengan cara menyingkirkan sasaran dan rangsangan langsung yang meningkatkan konflik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa campur tangan militer sering kali menandai berakhirnya serangkaian kekerasan politik. Dalam pengertian ini cara tersebut sangat berbeda dari beberapa praktik yang digunakan oleh kelompok sosial yang lainnya.
Ciri taktik politik yang dipergunakan oleh golongan militer mencerminkan keterpaduan organisasi mereka maupun fakta bahwa meskipun kekuatan sosial lain dapat menekan pemerintah, tetapi golongan militer dapat mengganti pemerintahan. Dalam kaitan ini campur tangan militer mempunyai dampak marginal yakni : mencegah perluasan partisipasi poltik yang mencakup berbagai kelompok radikal sehingga akibatnya memperlambat proses pembaharuan sosial dan ekonomis. Berikut merupakan cara arah tindakan yang dalam kaitannya dengan ketegaran kekuasaan atau menyerahkan kembali kekuasaan kepada kalangan sipil :
1.    Menyerahkan kembali dan membatasi (puilihan Aramburu).
Dalam halm ini militer dapat menyerahkan kembali kekuasaan kepada golongan sipil setelah berkuasa dalam jangka waktu yang tidak lama dan melakukan pembersihan di kalangan pejabat pemerintahan tetapi, dilain pihak tetap membatasi tampilnya kelompok-kelompok baru untuk berpartisipasi memegang kekuasaan poltik.
2.    Mengembalikan dan memperluas (Pilihan Gursel)
Pimpinan militer dapat mengembalikan kekuasaan kepada pejabat sipil, dan beberapa kelompok politik yang sebelumnya pernah dicegah sekarang diberi kesempatan untuk berpartisipasi di bidang politik dibawah kondisi baru pula.
3.    Tetap berkuasa dan melakukan pembalasan (pilihan Castello Branco)
Militer dapat tetap memegang kekuasaan dan menentang perluasan partisipasi poltik. Dalam hal ini apapun kehendak mereka untuk melakukan hal yang sebaliknya, tetapi tidak dapat menghindarkan bahwa mereka semakin terdorong untuk mengambil tindakan pencengahan.
4.    Tetap berkuasa dan memperluas (Pilihan Peron)
Militer dapt memegang kekuasaan dan memberikan kesempatan atau juga memanfaatkan perluasan partisipasi politik. Dalam keadaan semacam ini para perwira muncul memegang kekuasaan melalui suatu kup yang menyimpang dari pola veto, dan kemudian mengubah landasan politik mereka dengan cara menggalang kelompok-kelompok baru di bidang politik sebagai golongan pendukung mereka.
Dengan demikian secara teoritis kepemimpinan yang lebih efektif membentuk lembaga harus berasal dari beberapa kelompok yang tidak secara langsung mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok etnis atau golongan ekonomi tertentu. Dari beberapa segi dapat dikatakan bahwa kelompok mahasiswa, tokoh-tokoh pimpinan agama dan perwira militer termasuk di dalam kategori tersebut. Tetapi catatan sejarah menunjukkan bahwa baik kelompok mahasiswa maupun kelompok keagamaan tidak memainkan perana yang kontruktif di dalam lembaga politik.
Di lain pihak, militer memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menciptakan tata di dalam masyarakat pretoria radikal. Kemampuan militer berperan sebagi motor pembangunan atau bahkan juga peranan untuk memodernasikan negara tergantung dari gabunagan berbagai kekuatan sosial yang terdapat di dalam masyrakat. Kemampuan militer untuk membentuk lembaga politik yang stabil pertama-tama tergantung dari kemampuan untuk mengidentifikasikan pemerintahan mereka dengan kelompok tani, dan kemudian menggalang politik kaum tani untuk memihak mereka.
Dengan demikian tokoh-tokoh militer terperangkap dalam suatu konflik antara prefensi dan nilai-nilainya yang subyektif dengan kebutuhan obyektif masyarakat akan adanya lembaga politik. Kebutuhan tersebut biasanya bersegi tiga. Pertama, lembag-lembaga politik diperlukan dan mencerminkan pembagian kekuasaan yang ada, tetapi sementara itu dapat juga menarik serta mengasimilasikan kekuatan-kekuatan sosial yang baru pada saat mereka muncul sehingga dengan demikian berarti juga menciptakan suatu eksistensi yang tidak terikat oleh kekuatan-kekuatan itu yang semula melahirkannya.
Kedua, di negara-negara di mana militer memegang kekuasaan, maka unit-unit yang mengeluarkan keputusan yang bersifat birikratis dalam sistem politik seringkali sudah sempurna, keadaan ini kontras dengan unit penyerap aspirasi dan tuntutan massa yang kacau dan tidak teratur yang diharapkan dapat melaksanakan funsi artikulasi dan agregasi keeepentingan.
Ketiga, lembaga-lembaga politik diperlukan untuk mengatur masalah suksesi dan memberikan jalan pengaman kekuasaan dari seseorang pimpinan atau sekelompok pimpinan kepada yang lain tanpa menggunakan aksi langsung dalam bentuk kup, pemberontakan atau pertumpahan darah lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar